“Konsistensi Kampus Sebagai Laboratorium Intelektual dan Pencetak Generasi Pembaharu di Era Modernisasi”



Ditengah Pesatnya perkembangan teknologi dan dengan Problematika yang sedang di alami sebuah bangsa Berkembang khususnya Negara Indonesia, menjadi perhatian serius bagi seluruh elemen masyarakat dan stakeholder yang ada di Indonesia Untuk menjawab dan menterjemahkan gempuran Globalisasi saat ini yang serba cepat dan dengan Hegemoni Teknologisasi barat yang mengungkung kreativisme, kritisisme dan karakteristik masyarakat Indonesia menjadi hal yang penting untuk di perhatikan. Kesadaran intelektual dan emosional anak bangsa saat ini penting untuk dilatih dan diolah sebagai upaya dalam menginterupsi determinasi industrialisasi barat terhadap masyarakat Indonesia, terlepas dari hubungan diplomatik antara negara Indonesia dengan Negara-negara adikuasa.
Pesatnya perkembangan teknologi mengakibatkan Ketidakberdayaan-ketergantungan (Captive Mind) masyarakat Indonesia, akan ketidakmampuan masyarakat Indonesia dalam mencerna dan mengolah sebuah informasi yang jika tidak diseriusi akan berimplikasi terjadinya Dehumanisasi dan kemandekan intelektualitas masyarakat Indonesia. penting kemudian memperhatikan dan memahami apa yang disampaikan oleh Ralph Keyes dalam bukunya yang berjudul “The Post-truth Era : Dishonesty and Deception in Contemporary Life (2004)”, Ia meyebutkan, saat ini batas antara yang benar dan dusta, antara kejujuran dan keculasan, fiksi dan non fiksi, jadi kabur. Dan lanjutanya, kita berdusta tanpa benar-benar punya alasan untuk berdusta. Percakapan ditengah masyarakat pun selalu dilingkupi perasaan saling curiga dan mudah menyimpulkan sesuatu. Modal sosial akhirnya tergerus, orang-orang menghabiskan waktu bertengkar tanpa terjadinya dialog. Banyak yang berbicara tetapi hanya sedikit sekali yang mau mendengar. Orang akan memilih satu informasi yang meyakinkan sebagai pegangan dari kebingungan. Disinilah awal mula mewabahnya Fanatisme. Disaat banyak informasi yang tidak layak dipercaya, orang akan berpegang teguh pada sumber yang belum tentu absah.
Ditengah problematika kebangsaan tersebut dan ketidakberdayaan-ketergantungan (Captive Mind) masyarakat terhadap pemanfaatan teknologi serta masih kurangnya pengetahuan masyarakat dalam mengolah dan memverifikasi sebuah informasi yang mereka konsumsi. agar lebih meningkatkan kapasitas masyarakat dalam pemanfaatan Teknologi dan mengolah sebuah informasi yang diterima menjadi hal yang bermanfaat. Keterlibatan seluruh elemen bangsa baik institusi pemerintahan, Lembaga Pendidikan, Ormas, Masyarakat sipil dan tiap individu memiliki peranan yang sangat penting guna meningkatkan kecakapan kita dalam mengolah dan memanfaatkan sebuah informasi. Terkait dengan hal-hal yang bersifat edukatif, peran Lembaga Pendidikan juga cukup penting dalam menghadirkan sebuah solusi ditengah kekakuan kita terhadap arus modernisasi yang jika tidak secepatnya dihadirkan sebuah formulasi atau pikiran alternative untuk membendung hal tersebut, masyarakat Indonesia akan terus mengalami degradasi atau akan tergerus oleh pesatnya perkembangan teknologi. 
Mencoba untuk sedikit mengulas konsistensi dari sebuah Lembaga Pendidikan atau Perguruan Tinggi yang ada diindonesia sebagai organ vital dalam pencetak intelektual serta ladang bagi para agen pembaharu dan pencerah umat. Apakah kampus saat ini memiliki andil dalam upaya menciptakan generasi pembaharu sebagai bentuk Konsistensinya dan tanggung jawab sosialnya terhadap peningkatan kualitas masyarakat dalam pemanfaatan Teknologi dan mengolah sebuah Informasi yang di konsumsinya ? pertanyaan tersebut turut mewakili awamis. kampus sebagai laboratorium intelektual dan pencetak generasi pencerah peradaban tentu memiliki daya dalam mengembangkan potensi anak bangsa dan mahasiswa serta turut mengawasi persoalan-persoalan sosial yang terjadi akibat Captive Mind dan “kebutaan” masyarakat terhadap perkembangan teknologi saat ini. Dilansir dari Tempo.co , Kementerian Komunikasi dan Informasi (Kominfo) RI menemukan 9.546 berita Hoax yang telah tersebar diberbagai platform media sosial. Data itu terangkum sejak Agustus 2018 sampai tahun 2022. Juga dilansir dari BeritaSatu.com, Survey Katadata Insight Center (KIC) yang juga bekerjasama dengan Kominfo, pada tahun 2020, stidaknya 30% sampai Hampir 60% orang Indonesia terpapar Hoax . Kebanyakan Hoax yang ditemukan terkait isu Politik, Kesehatan Dan Agama. Menurut Direktur Katadata Insight Center (KIC) , “Mulya Amri mengatakan, selain kemampuan mengenali Hoax masih rendah, Tingkat literasi digital orang Indonesia juga masih belum tinggi. Dalam survey yang mengukur status literasi digital di 34 Provinsi Indonesia ditemukan, Indeks Literasi digital secara nasional belum sampai level Baik. Jika skor tertinggi adalah 5 dan yang terendah adalah 1, maka indeks literasi digital nasional baru 3,47 ini baru sedikit di atas level menengah”. Melalui dua data tersebut, tingkat literasi digital diindonesia belum sampai pada level baik, itu artinya masih akan ada masyarakat indonesia yang tanpa sadar akan terus mengkonsumsi dan mereproduksi informasi tersebut tanpa adanya verifikasi lebih dulu terhadap informasi tersebut. Dari kacamata akademis, bagaimana melihat Problem yang dialami masyarakat Indonesia saat ini dengan indeks literasi digital kita yang masih rendah ? jika situasi semacam ini masih mengalami stagnasi dan terus dibiarkan seperti ini, menurut sy itu adalah bentuk kesengajaan oleh para intelektual dan akademisi hingga hal tersebut menjadi sebuah instrument bahwa perguruan tinggi saat ini mengalami inkonsistensi terhadap Masalah sosial. Tidak hanya sampai disitu, jika kampus saat ini bertindak sebagai ladang produksi, kontribusinya terhadap lingkungan, masyarakat dan bangsa akan sangat dirasakan kebermanfataannya. sebaliknya, jika kampus terlihat sebagai ladang industri, kejahatan materil dan sebagadainya akan terus mengalami peningkatan.
Pencermatan terhadap realitas perguruan tinggi saat ini terlihat adanya ketidaksesuaian dalam mencetak agen-agen pembaharu, para penguasa Kampus saat ini seolah semakin anti terhadap kritikan, para pengkritik seringkali dianggap sebagai ancaman terhadap kekuasaan sehingga seringkali para pengkritik kekuasaan atau Mahasiswa Aktiv sering mengalami diskriminalisasi. melarang adanya demonstrasi di dalam kampus padahal itu sebagai sarana dalam mengemukakan pendapat dimuka umum dan menyampaikan aspirasi kolektif atas kegelisahan akibat Policy yang tidak berpihak kepada mahasiswa. Juga Seringkali para pesohor kampus mengintervensi kajian-kajian atau forum diskusi nonformal mahasiswa. Padahal Secara filosofis, kampus seharusnya sebagai arena pagelaran pertarungan yang argumentative, arena untuk saling beradu gagasan dan sebagai ruang Ekspresi mahasiswa. Dengan Doktrin dan dogma-dogma yang dilakukan oleh para Birokrat dan Oknum “Fallacy”, Seringkali menampilkan upaya penggiringan dengan Membungkam kritisisme dan idealisme mahasiswa, hal tersebut dilakukan agar mahasiswa mulai meratap pada hal-hal yang lebih Realistis, Pragmatis serta hedonistic. situasi seperti itu masih sangat massif dan sistematis terjadi dibeberapa perguruan tinggi yang ada diindonesia. Ruang-ruang akademis itu justru kini beralih fungsi sebagai sebuah ladang industri, menciptakan robot-robot yang mekanis tidak lagi berfungsi sebagai lahan produksi dalam menciptakan masyarakat intelektual yang diproyeksikan akan menjadi agen perubahan, pencerah Umat dan bangsa. 
Melihat fenomena yang terjadi, menurut Sunyoto Usman, ada tiga faktor terjadinya krisis di perguruan tinggi; pertama. Mahasiswa Pasca Sarjana Yang diaharpakan mampu memberika kritik pada teori dan memberikan teori baru, masih berkutat pada identifikasi teori dan mengekor pada teri-teori yang sudah ada. Kedua, dosen tidak dijadikan sebagai “partnher diskusi”, tapi sebaga sumber dari segala sumber. Ketiga, banyak professor yang dipaksa/memaksakan diri membimbing mahasiswa meneliti bidang yang tak dikuasainya. “Selain dari ketiga hal tersebut, ada Intelektual Hazard, dimana Kaum intelektual sibuk dengan pekerjaan Struktural yang ‘Memaksa’ mereka untuk abdi birokrasi.
Dengan kompleksnya permasalahan tersebut, konsistensi perguruan tinggi dalam mengaktualisasikan Tri Dharma Perguruan Tinggi di tengah masyarakat serta menciptakan agen perubahan di era keterbukaan saat ini masih selalu dipertanyakan, Apakah saat ini perguruan Tinggi dengan Civitas Akademikanya yang syarat akan Gelar kesarjanaannya memahami makna dan Hakikat adanya sebuah Perguruan Tinggi ? upaya-upaya tersebut justru mengakibatkan terjadinya pergeseran nilai dan kini, Kampus hanya sekedar sebuah Rumah industri yang mencetak generasi administrative dan mekanis agar bisa didistribusikan di rumah industri lainnya. Laboratorium itu sebagai tempat lahir tumbuh mekarnya ide dan gagasan untuk membendung dan mencegah terjadinya dehumanisasi dan polarisasi dimasyarakat dan juga turut mencerdaskan kehidupan bangsa. 

Dengan Situasi saat ini akibat dari arus Modernisasi yang tak terelakan, mengharuskan kepada seluruh lapisan masyarakat agar lebih cerdas dan evalutif dalam penggunaan dan pemanfaatan teknologi, menerima serta mereproduksi sebuah informasi baiknya terlebih dulu melakukan verifikasi akan Validitas informasi tersebut.

“Membiarkan Kotoran-kotoran masuk ke bagian dalam,
Jiwa membeku karena pengaruh buruk,
Terus Menumpuk dan mengeras, sampai jiwa kehilangan
Sifat keilahian sebagai fitrahnya.
Seperti itulah bayangan kabut tebal dan hitam
Yang sering terlihat di kubah-kubah dan makam.
Terus melekat, dan duduk di samping makam baru,
Segan untuk meninggalkan tubuh yang dicintai,
Dan mengikat dirinya sendiri dengan sensualitas badani.
Sampai pada keadaan yang rendah dan hina.”.
 -SOCRATES
Pengarang :
Moh. Syahrul
Ketua Bidang Kaderisasi PC IMM Kota Palu 2022-2023
Presiden Mahasiswa BEM Univeritas Muhammadiyah Palu 2022-2023

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Presma BEM UM Palu Mempertanyakan Komitmen Ahmad Ali Akan Menindak Tegas Yahdi Basma jika Terbukti Bersalah Melakukan Pelanggaran Hukum atau Inkracht

Ilmu Administrasi