Ilmu Administrasi
PRA KATA
Manusia diciptakan oleh Allah SWT sebagai makhluk yang sempurna dan memiliki keistimewaan dimuka bumi dengan Akal sebagai salah satu pembeda dengan makhluk ciptaan Tuhan lainnya. Dengan Akal, manusia memiliki otoritas bertindak sesuai apa yang ia pikirkan.
Atas keistimewaan yang diberikan oleh Tuhan tersebut, manusia menciptakan dan melahirkan beragam Ilmu Pengetahuan. Adanya ilmu pengetahuan saat ini juga tak lepas dari kontribusi Filsafat yang menurut salah seorang Filsuf Cicero filsafat adalah “ibu dari semua seni”(the mother of all the arts). Juga sebagai arts vitae yaitu filsafat sebagai “seni kehidupan”, Atau menurut al-Farabi (870-950 M), Filsafat adalah ilmu yang menyelidiki hakikat yang sebenarnya dari segala yang ada (al-ilmu bil-maujudat bi ma hiya al-maujudat).
SINGKAT KATA
Tidak untuk membahas Filsafat atau para Filsufnya lebih jauh. dalam perkembangannya, Ilmu Pengetahuan semakin bercorak sampai era modern saat ini. salah satu penemuannya yaitu Ilmu Administrasi. Ilmu Administrasi dikenal secara luas sebagai proses kerjasama antara dua orang atau lebih, kelompok atau organisasi yang didasrkan atas rasionalitas untuk mencapai tujuan yang telah disepakati sebelumnya. Administrasi bertujuan untuk memonitoring kegiatan atau data yang dimiliki oleh komunitas, perusahaan atau organisasi. Mengevaluasi suatu kegiatan-kegiatan dalam pengorganisasian dan untuk menyusun suatu program pengembangan usaha dan kegiatan pengorganisasian. Dalam arti sempit, administrasi didefinisikan sebagai kegiatan yang meliputi catat-mencatat, surat-menyurat, ketik-mengetik dan sebagainya yang bersifat teknis tentang ketatausahaan.
Administrasi lahir sejak Woodrow Wilson (1887) menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat (1913-1921) menulis sebuah artikel “The Study Of Administration” yang di muat di jurnal Political Science Quarterly. Menurut Wilson, ilmuwan politik lupa bahwa kenyataannya lebih sulit mengimplementasikan konstitusi dengan baik maka perlu suatu ilmu yang kemudian disebut sebagai Ilmu Administrasi. Ilmu administrasi yang di kemukakan oleh Wilson tersebut menekankan dua hal, yaitu perlunya efisiensi dalam mengelola pemerintahan dan perlunya menerapkan merit system dengan memisahkan urusan politik dari urusan pelayanan publik. Atas pemikiran dari Wilson Tersebut, menimbulkan reaksi positif dari sejumlah Tokoh, analis, penulis, dsb terhadap pemikiran tersebut. Salah satunya datang dari Frank J. Goodnow dalam bukunya berjudul politics and administration, menurutnya, penjelasan ilmiah dari gagasan Wilson tersebut seringkali menjadi Rujukan para Ilmuan administrasi negara sebagai “proklamasi” secara resmi terhadap lahirnya Ilmu Administrasi Negara yang memisahkan diri dari induknya, yaitu Ilmu Politik. Gagasan dari Wilson tersebut kemudian menjadi pembahasan menarik beberapa dekade bahkan sampai berimplikasi pada “krisis identitas” dan mencoba menginduk kembali ke Ilmu Politik. Setelah sekian lama mengalami “krisis identitas” di akhir tahun 90-an ilmu administrasi negara semakin menjadi jelas, yaitu Ilmuawan administrasi negara lebih menempatkan proses administrasi sebagai pusat perhatian (fokus) dan lembaga pemerintah sebagai tempat praktik (locus).
DARI “NEGARA” KE “PUBLIK”
Di negara Indonesia, Dinamika Ilmu administrasi negara belum sepenuhnya selesai. Dari gagasan penerapan merit system yaitu pemisahan Ilmu administrasi dari Ibu kandungnya yaitu, Ilmu Politik Wacana baru kemudian hadir kembali mengawali abad ke-21, yaitu mempertanyakan Relevansi antara keberadaan Ilmu administrasi sebagai administrasi pemerintahan. Gugatan tersebut terutama ditujukan pada lembaga pemerinntah sebagai tempat praktik (locus) dirasa tidak memadai lagi. Menurut Dwiyanto (2007) lembaga pemerintah dirasa terlalu sempit untuk menjadi Lokus Ilmu administrasi Negara. Kenyataannya yang ada menunjukkan bahwa lembaga pemerintahan tidak lagi memonopoli peran yang selama ini secara tradisional menjadi otoritas pemerintah. Fenomena terkait relevansi Locus ilmu administrasi negara semakin kompleks dan dinamis. Utomo (2007) menyebutkan bahwa perkembangan konsep Ilmu administrasi negara telah mengalami pergeseran titik tekan dari negara yang semula diposisikan sebagai agen tunggal yang memiliki otoritas untuk mengimplementasikan berbagai kebijakan publik menjadi hanya sebagai fasilitator bagi masyarakat. Dengan demikian istilah public administration tidak tepat lagi untuk di terjemahkan sebagai administrasi negara, melainkan lebih tepat di terjemahkan menjadi administrasi publik. Sebab, makna “publik” disini jauh lebih universal daripada kata “negara”. Inilah yang kemudian menjadi dasar peralihan dari Administrasi “Negara” menjadi Administrasi “publik”. namun peralihan atau perubahan kata tersebut juga memiliki konsekuensi dalam pemaknaan, yaitu terjadinya pergeseran lokus yang sebelumnya administrasi negara dari yang sebelumnya berlocus pada birokrasi pemerintah menjadi administrasi publik yang berlocus pada organisasi publik. Dengan demikian birokrasi pemerintahan bersama masyarakat dan organisasi-organisasi non-pemerintahan terlibat menjalankan fungsi, baik dalam hal penyelenggaraan pelayanan publik, pembangunan ekonomi, sosial maupun bidang-bidang pembangunan lainnya.
ADMINISTRASI
Indonesia sebagai negara yang menganut sistem demokrasi yang bertumpu pada kekuasaan rakyat dan Philosophy Grondslag sebagai akarnya tentu kita perlu mempelajari dan memahami apa itu Ilmu administrasi publik baik secara umum maupun secara konsepsional. Dengan pemahaman kita tentang administrasi publik, kita mampu menilai mekanisme dan prosedural praktik-praktik dalam administrasi pemerintahan, organisasi non-pemerintahan, institusi pendidikan, komunitas-komunitas dan sebagainya. apakah sudah sesuai dengan aturan yang ada atau justru kebijakan publik (public policy) yang dilahirkan berefek negatif sehingga berimplikasi terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial.
Dengan alas dan kemewahan intelektual yang dimiliki, kita mampu melakukan penalaran (reasoning) terhadap praktik-praktik administrasi yang terjadi. Ada salah seorang Filsuf bernama Jurgen Habermas (Frankfurt, Jerman) dalam bukunya Knowledge and Human Interest (1968) mengemukaan adanya keterkaitan antara Ilmu pengetahuan manusia dan kepentingan, Ia membagi Ilmu pengetahuan berdasarkan kepentingan. Setiap ilmu pengetahuan tak pernah lepas dari kepentingan. Pemahaman akan kepentingan ini membuat kita jadi tahu ilmu apa yang dibutuhkan sesuai dengan kepentingan kita. Jurgen mengelompokkan antara Ilmu dan kepentingan menjadi Tiga yaitu, pertama, ilmu empiris-analitis, kedua, ilmu historis-hermeneutis, dan yang ketiga ilmu tindakan.
Pertama, ilmu empiris berbasis pada apa yang nyata. Metodenya diurai, dianalisis, dipilah-pilah. Tujuan dan kepentingannya adalah mencari hukum alam yang pasti dan penguasaan alam (kontrol teknis). Akal manusia dijadikan sebagai Rasio instrumental yang sifatnya manipulatif (merubah x menjadi y), kalkulatif (jika x begini, maka akan dihasilkan y seperti ini), mendominasi alam semesta, dan lupa akan tujuan hidup manusia sendiri, ini ditemukan pada ilmu-ilmu positivisme awal yang berjalan tanpa tanggung jawab kemanusiaan. Diktum ilmu ini adalah “apa yang bisa dilakukan, boleh dilakukan”.
Kedua, ilmu historis menempatkan obyek sebagai bagian dari sejarah yang panjang. Tujuan dan kepentingannya adalah mengungkapkan makna dan perluasan subyektivitas dan komunikasi intersubyektivitas. Keberadaan suatu organisasi bukan apa yang ada atau nyata sekarang ini, ada sejarah panjang di belakangnya, ada peristiwa yang terjadi di dalamnya, ada pemikiran dan segala aspek lain yang meliputinya. Semua yang mengintari organisasi dalam sejarahnya itu membuat jalinan teks yang rumit. Karena rumit, ia tak bisa langsung dipahami secara langsung, melainkan harus dimaknai. Untuk bisa memaknai, kita harus berkomunikasi dengan pelakunya. Seraya memposisikan pelakunya sebagai manusia, bukan sebagai benda-benda yang diukur. Memaknai bukan mengukur, melainkan memahami.
Ketiga, ilmu tindakan adalah ilmu yang tak sekadar teori namun terlibat dengan kehidupan. Tak sekadar berkomunikasi demi mendapatkan makna, namun beraksi untuk menghasilkan perubahan. Ilmu seperti ini berniat untuk membebaskan manusia lain atau masyarakat dari penindasan. Apa yang semula diam didorong untuk bisa bergerak dan melawan, itulah makna emansipasi sebagai pemulihan.
Maksud dari pengelompokkan atau pembagian Habermas ini adalah, pertama, pengelompokkan atau pembagian diatas adalah salah satu kerja filsafat yang mampu memilah-milah ilmu secara mendalam. Pemilahan ini tak mudah dilakukan. Bagi awam, mereka menganggap semua ilmu itu sama. Melalui pemilahan diatas segera kita ketahui bahwa ilmu itu ternyata memiliki kepentingan yang berbeda-beda, ada yang hendak menguasai, berkomunikasi (membuat yang lain bicara), dan ada yang mendorong tumbuhnya emansipasi. Yang kedua adalah ilmu dari Habermas ini berguna bagi kita untuk menakar apa yang terjadi pada praktik ilmu administrasi.
Sebagai pembanding terhadap perkembangan Ilmu administrasi yang semakin manusiawi yang pada awalnya ketika manajemen ditujukan untuk kepentingan kontrol teknis, semua sumber daya organisasi dianggap sebagai benda yang harus bergerak secara otomatis, saat itu nilai-nilai kemanusiaan diabaikan karena yang terpenting adalah efektivitas dan efisien. Kemudian, ketika ilmu administrasi mempertimbangkan teori (manusia) administrasi tidak sebagai kontrol teknis melainkan sebagai cara menemukan makna dan emansipasi.
Stephen Covey (1932) dalam bukunya Principle Centered Leadership, ia menuliskan paradigma manajemen dan menunjukan pemahaman manusia mengenai manajemen. Sebelum administrasi mengalami pemulihan, manajemen menjadi sistem otoriter tanpa melihat sisi kemanusiaan yang terpenting adalah efektivitas, efisiensi dan hasil yang sesuai. Covey kemudian menjelaskan salah satu paradigma awal sebelum mengalami revolusi yaitu paradigma manajemen ilmiah. Paradigma ini memandang manusia sebagai perut (makhluk ekonomi). Motivasi yang diberikan melalui metode hukuman dan ganjaran (cambuk dan wortel). Kuda dapat bergerak dengan cepat jika didepannya ditawari wortel (makanan yang dibutuhkannya) lalu dibelakangnya dilucuti oleh cambuk agar ketakutan. Inilah model awal manajemen (sebelum administrasi mengalami pemulihan); beri hadiah di depan untuk memikat dan menyemangati, lalu jangan segan-segan memberikan hukuman dibelakang, kemudian pimpin semua orang untuk memperoleh manfaat. tugas kepemimpinan dalam manajemen (administrasi sebelum mengalami pemulihan) adalah mengendalikan, menguasai, terpisah dan berbeda dari yang dipimpin, mengetahui apa yang terbaik. Analogi pada paradigma itu, pemimpin sebagai kusir dari kuda, yang memiliki tujuan karena itu mengarahkan kuda sesuai dengan tujuan yang dimilikinya. Yang kuda adalah karyawan atau bawahannya akan pergi dan diorganisasikan melalui hukuman dan ganjaran. Tentu saja idealnya seorang pemimpin harus adil dengan ganjaran-ganjaran ekonomi dan paket tunjangan. Kesemua kerja kepemimpinan dilakukan oleh seseorang pemimpin demi memenuhi kebutuhan perut seseorang. Asumsi mengenai hakekat manusia yang berhubungan dengan paradigma perut adalah asumsi manusia ekonomi. Artinya bahwa, manusia itu termotivasi oleh pencarian akan keamanan perutnya. Wortel didepan adalah kebutuhan ekonominya, semua orang mengejar kebutuhan perutnya. Semua orang mau bekerja keras demi mendapatkan makanan. Sementara cambuk dibelakang adalah kode, jika tidak bergerak siksaan akan datang, tak hanya itu pemecatan akan segera diberikan. Demi mendapatkan kebutuhan akan perut, semua orang akan bergerak. Karena itu, seorang pemimpin terus mempergunakan sistem ganjaran dan hukuman. Apabila asumsinya benar, orang akan merespon secara konsisten berdasarkan motivasi untuk mencari nafkah bagi diri mereka sendiri atau untuk menghidupi kesengsaraan diri dan keluarganya. Gaya manajemennya adalah gaya otoriter. Seorang manajer otoriter membuat keputusan dan memberi perintah. Melalui cara ini karyawan akan mendapatkan ganjaran ekonomi berupa gaji dan tunjangan juga selamat dari kesengsaraan tanpa pekerjaan dan penghasilan.
SINGKAT CERITA
Ilmu administrasi publik menjadi ilmu yang penting untuk dipelajari. Sebagaimana kelahiran, terjadi krisis identitas dan dinamika perkembangannya namun hingga kini Ilmu administrasi menjadi “katrol” tercpainya Visi kolektif. Dengan terciptanya kesadaran terhadap disiplin ilmu tersebut, manusia mampu menjadi kontrol sosial dan menjadi pilar yang kokoh untuk memastikan seluruh rangkaian Administrasi dalam Pemerintahan, institusi pendidikan, organisasi non-pemerintahan, LSM, ORMAS dsb dan dengan public policy yang dilahirkan berpihak atau berimplikasi positif terhadap keadilan dan kesejahteraan sosial.
AKHIR CERITA
Jika terdapat kekurangan dalam kisah singkat Ilmu administrasi ini mohon maaf. “Quotsnya, ilmu administrasi adalah sebuah kerinduan atau dambaan akan sesuatu yang belum selesai”.
Moh. Syahrul, Rabu 27 Juli 2022
Mahasiswa Jurusan Administrasi Publik
Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik
Universitas Muhammadiyah Palu
Komentar
Posting Komentar